Matematika dan Nalar Bangsa
Oleh didit putra erlangga R
Apa hubungan antara seni dan matematika? Jawabannya pendek, keduanya sama. ”Sama-sama melibatkan kesintingan dan kejeniusan,” ujar Iwan Pranoto (50), Guru Besar Ilmu Matematika dari Institut Teknologi Bandung.
Dia pun menunjukkan lukisan Pablo Picasso berjudul ”Bull. State XI” yang dibuat tahun 1945 berupa garis-garis sederhana mengenai seekor banteng. Lukisan tersebut dibuat bukan karena Picasso malas. Justru sebaliknya, proses penciptaan lukisan tersebut berawal dari gambar banteng yang disederhanakan hingga tinggal informasi dasar, yakni bentuk tanduk, bentuk badan, kaki, hingga alat kelamin. Lukisan yang minimalis tersebut bakal bisa dinikmati setelah aspek rasional di belakangnya diketahui.
Iwan pun beralih kepada rumus F>MA atau kerap disebut Hukum Newton II mengenai gaya gerak. Tiga unsur dalam rumus tersebut tidak bisa dianggap sederhana. Bagi yang mengerti matematika, penjabarannya sungguh luar biasa. Dari sudut pandang matematika, rumus F>MA itu mirip dengan lukisan Picasso mengenai banteng karena universal, tepat, sederhana, di luar kebiasaan, serta menyatukan perasaan dan kecerdasan.
Kaitan seni dan matematika itu pula yang dia bawakan sewaktu memberikan pidato pengukuhan Guru Besar ITB akhir Maret lalu. Dia menyebut, seni dan matematika memiliki peran sebagai fungsi sekaligus hiburan. Hal yang sama dilakukan Tan Malaka yang menemukan keasyikan dengan matematika untuk menghabiskan waktu. Ilmu tidak bermateri. Demikian sebutan Tan Malaka kepada matematika.
Yang membuat matematika begitu memesona, lanjut Iwan, adalah totalitas dalam pemanfaatan rasio maupun nalar. Berbeda dengan ilmu pasti yang membutuhkan pengujian empiris, matematika sepenuhnya berupa gagasan di kepala. Tidak ada segitiga, yang ada hanya bentuk menyerupai segitiga. Karena itu, bermatematika seharusnya dianggap sebagai sebuah kegiatan rekreasi dan hiburan. ”Bukan sebuah hal yang ditakuti banyak orang,” ujarnya.
Alasan yang sama inilah yang membuat dia terus menekuni matematika sejak sekolah tingkat menengah di SMP Santo Yusuf Malang, Jawa Timur. Jurusan Matematika ITB dipilihnya, begitu pula S-2 di tempat yang sama. Mulai dari gelar master of science, philosophiae doctor, hingga post doctor, semuanya mengenai matematika.
”Saya jatuh cinta pada matematika karena saya malas. Saya malas menghafal,” ujarnya tersenyum
Cinta matematika
Kecintaan Iwan terhadap matematika dia wujudkan dalam mengajar. Tidak hanya mengajar matematika bagi mahasiswa ITB. Dia juga membagi ilmunya kepada masyarakat yang lebih luas. Dengan akun twitter @iwanpranoto, dia juga membuka kesempatan bagi pengguna layanan microblogging ini untuk menghubunginya secara langsung. Situs www.pakiwan.com yang dikelolanya berisi beberapa ilmu matematika yang bisa dipelajari secara langsung hanya bermodalkan koneksi internet.
Hal itu tidak lepas dari gambaran Iwan mengenai konsep Pendidikan 2.0, yakni pembelajar yang bisa belajar sesuai dengan kebutuhannya dan menentukan siapa pengajarnya. Semua berbasis dari budaya berbagi atau share yang senapas dengan tren internet saat ini. ”Jadi, menjadi bodoh di zaman sekarang adalah pilihan, bukan nasib. Semua sudah tersedia,” kata Iwan.
Selain dunia maya, Iwan juga berkeliling ke banyak daerah untuk memberikan pengarahan dan membangun kecintaan terhadap matematika. Sasarannya adalah guru dan orangtua murid. Alasannya, guru adalah orang yang bertanggung jawab membuat muridnya suka matematika, kemudian memberinya jalan agar dia menjadi lebih pintar. Orangtua berperan dalam pendidikan modern, terutama menentukan pendidikan bagi anak mereka.
Salah satu pengalaman yang berkesan adalah memberikan lokakarya kepada guru di daerah Parungkuda di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ada peserta guru perempuan yang datang berboncengen menggunakan sepeda motor dari Bekasi. Keduanya datang hanya untuk mengikuti lokakarya Iwan mengenai matematika. Kenyataan itu membuat dia trenyuh sekaligus bersemangat untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia.
Nalar
Dunia matematika yang sangat mengasyikkan bagi Iwan ternyata tidak bisa dirasakan sebagian besar pelajar lainnya di Indonesia. Bukannya suka, yang ada justru enggan sampai takut. Matematika tidak lagi dikenal sebagai sebuah hiburan, tetapi beban yang harus dilalui dalam fase belajar di sekolah.
”Saya sering bertemu anak sekolah yang bertanya mengenai jurusan di perguruan tinggi yang tidak berurusan dengan matematika,” kata Iwan.
Sayangnya, pengalaman Iwan ternyata mewakili kondisi umum di Indonesia. Menurut data dari Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2007, literasi matematika untuk pelajar kelas II SMP di Indonesia dinilai 398 poin. Sementara negara Asia Tenggara yang paling dekat hanya Malaysia dengan hasil 474 poin. Pemuncak data itu adalah Taiwan dengan 598 poin, diikuti Korea (597), Singapura (593), Hongkong (572), dan Jepang (570).
Yang membuat miris lagi, nilai literasi matematika Indonesia dalam delapan tahun terakhir bukannya meningkat, melainkan malah menurun. Tahun 1999 mencapai 403 poin dan anjlok menjadi 397 poin pada tahun 2007.
Gambaran miring mengenai literasi matematika jelas membuat Iwan prihatin. Pasalnya, matematika adalah satu-satunya ilmu yang secara disiplin mengajarkan nalar dan rasionalitas. Matematika juga mengajarkan toleransi dan menghargai perbedaan pendapat. Sayangnya, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, matematika diajarkan secara dogmatis layaknya agama. Yang tersisa, siswa hanya menghafal tanpa berkesempatan untuk menyukai matematika.
Dia mencontohkan kasus sederhana mengenai perkalian 4 x 5 yang hasilnya 20. Bila berhenti sampai di hasil saja, artinya para murid hanya diminta menghafal. ”Coba saja tanyakan kenapa hasilnya 20, kita akan mengajarkan para siswa untuk menggunakan nalar. Bisa saja ada yang menjawab karena ada lima buah angka empat sehingga hasilnya 20. Tetapi ada juga yang menjawab empat buah angka lima sehingga hasilnya juga 20,” katanya.
Dengan matematika, seorang pelajar bisa diajarkan untuk bernalar, berlatih debat, hingga mengembangkan rasionalitas tanpa harus diceramahi. Iwan malah berpendapat, maraknya konflik berlatar belakang agama di Indonesia bukan karena kurangnya pendidikan agama, melainkan buruknya pendidikan matematika sehingga rasionalitas dan nalar kerap ditinggalkan.
Tidak ada lagi hasrat untuk bertanya kenapa.
diasdur dari www.kompas.com