Contextual Teaching and Learning dan Paham Kontrukstivisme
A. PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING / CTL)
Pendekatan kontekstual (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilkinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, dan strategi prmbrlajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi infomasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’ bukan dari ‘apa kata guru’.
Ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual:
1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
2. Pemerolehan pengatahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan (undersatnding knowledge)
4. Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (Applying knowledge)
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yaitu: konstruktivisme (contructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya ( authentic assessment).
B. KONSTRUKTIVISME
Konstruktivisme merupakan suatu teori atau paham yang menyatakan bahwa setiap pengetahuan atau kemampuan hanya bisa dikuasai oleh seseorang apabila orang itu aktif mengkonstruksi atau membentuk pengetahuan atau kemampuan itu di dalam pikirannya. Jika pengetahuan atau kemampuan itu tidak secara aktif dikonstruksi sendiri oleh orang yang bersangkutan, pengetahuan atau kemampuan itu tidak akan bisa dikuasai secara sungguh-sungguh. Dalam hal seperti itu, proses belajar yang sungguh-sungguh tidak terjadi, dan hasilnya adalah belajar tanpa pemahaman.
Menurut paham konstruktivisme, tugas guru atau pendidik adalah menfasilitasi agar prosea pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada diri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal. Sebagai contoh, jika seorang siswa membuat suatu kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal, sebaiknya guru tidak langsung memberitahukan dimana letak kesalahannya. Sebaiknya guru mengajukan beberapa pertanyaan untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa menemukan sendiri letak kesalahannya tersebut. Sebagai contoh, jika seorang siswa menyatakan bahwa untuk sembarang bilangan real a dan b berlaku (a+b) pangkat dua sama dengan a pangkat dua di tambah b pangkat dua, guru tidak perlu langsung memberitahukan bahwa itu salah, lebih baik guru memberi pertanyaan yang sifatnya menuntun, misalnya: apakah (2+3) pangkat dua sama dengan dua pangkat dua ditambah tiga pangkat dua ?.
Dengan menjawab pertanyaan ini, siswa akan dapat menemukan sendiri letak kesalahan yang ia buat pada pernyataan semula. Dari contoh ini kiranya jelas bahwa guru bisa membantu siswa dengan cara siswa dengan cara memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai, agar proses konstruksi pengetahuan dalam pikiran siswa berlangsung secara optimal. Pertanyaan yang diajukan guru tersebut, untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa bisa menemukan sendiri letak kesalahan yang ia buat, merupakan contoh scaffolding (tuntunan atau dukungan yang dinamis) dari guru pada siswa.